
Kiasaan
ngaret seringkali dianggap sebuah budaya yang sudah mendarah daging, sehingga
terkesan amat sulit untuk ditinggalkan. Stereotype tersebut berkembang dan
menjamur dikarenakan sulitnya orang bisa menjaga waktu, khususnya datang on
time pada setiap pertemuan atau janji.
Padahal,
saya amat yakin jika anggapan tersebut bisa dihilangkan jika ada keinginan yang
kuat dari setiap individu untuk berubah agar selalu dapat datang tepat waktu.
Karena menghadiri atau mendatangi sebuah pertemuan, janji, ataupun perkuliahan
dengan tepat waktu rasanya tidaklah sulit, bahkan sangat mudah. Yang menjadikan
sulit itu ialah membuatnya menjadi kebiasaan dan belum adanya kesadaran bersama mengenai betapa
pentingnya on time.
Ada
yang berkata bahwa, "waktu adalah uang", "waktu adalah modal
terbesar manusia", "waktu adalah senjata", dan lain-lain. Saya
kira berbagai ungkapan itu omong kosong belaka jika merujuk pada kebiasaan
orang.
Mungkin
sebagian dari Anda ada yang merasa protes dan tidak terima dengan judul dan isi
tulisan ini,
"Oy,
jangan digeneralisir gitu dong, gak semua orang itu suka ngaret!"
Saya
yakin bahwa tidak semua orang selalu terlambat. Apa lagi samapai anggapan pada
orang Indonesia. Tidak. Tapi begitulah anggapan yang sudah beredar di
masyarakat, bahwa orang Indonesia memang suka terlambat.
Kebiasaan
terlambat rasanya sudah menjadi bagian DNA orang. Yang tidak terbatas hanya
pada kalangan bawah, tapi juga kalangan atas. Tidak terbatas hanya pada
orang-orang biasa, tapi juga mereka yang memiliki peran penting di sebuah
perkumpulan atau organisasi terlebih di negeri ini. Semua kalangan. Semua golongan.
Dari
apa yang coba kita cermati bersama, "penyakit" ngaret ini merupakan
penyakit yang menular. Mungkin mahasiswa yang saat ini masih menjajaki bangku
perkuliahan, ketika nanti ia menjadi dosen atau birokrat, kebiasaan ngaret itu
masih diwariskan dari para pendahulunya. Apalagi menemukan pimpinannya ngaret,
maka akan semakin membudaya dan menular. Sehingga kebiasaan ngaret di Indonesia
ini menjadi warisan budaya yang turun-temurun dari generasi ke generasi.
Menurut
pendapat, setelah berpikir dan mencari kambing hitam mengapa orang Indonesia
memiliki kebiasaan ngaret, ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran agar
kebiasaan ngaret bisa diminimalisir, bahkan dihilangkan. Berikut beberapa
penyebabnya:
Multitasking yang
dilakukan
Sebuah
penelitian mengatakan, bahwa karyawan yang bekerja multitasking lebih
sering datang terlambat daripada karyawan yang fokus hanya mengerjakan satu
macam pekerjaan.
Banyak
orang menilai dan mengira bahwa multitasking itu suatu hal
yang efektif, karena dapat mengerjakan beberapa hal dalam satu waktu. Itu salah
besar. Karena pada dasarnya, manusia tidak bisa membagi fokus pikirannya pada
dua atau lebih hal untuk dikerjakan. Manusia hanya bisa fokus mengerjakan satu
hal, tidak lebih. Kalaupun bisa, pastilah itu tidak akan seefektif seperti ia
mengerjakan satu hal dengan fokus. Maka dari itu mengapa ada pesan nasihat dari
orang bijak,
"Kerjakanlah
satu-satu. Selesaikan satu per satu."
Gangguan
persepsi waktu
Pernahkah
Anda dalam satu waktu merasa lalai terhadap waktu? Lalai yang saya maksudkan
disini ialah lalai yang disengaja. Merasa memiliki waktu yang luang, padahal
waktu Anda terbatas. Mungkin pernah dalam suatu waktu Anda malah membaca lini
masa media sosial Anda, padahal disaat yang sama Anda seharusnya sudah
berangkat ke kantor atau kampus. Itulah yang disebut gangguan persepsi waktu.
Asumsi yang lain pasti datang terlambat
Menganggap
bahwa yang lain akan datang terlambat menjadi alasan utama mengapa
orang-orang datang terlambat. "Yang lain pasti terlambat, ya sudah aku pun
akan datang terlambat."
Asumsi pasti ditunggu
Anggapan
bahwa kalau pun datang terlambat, pasti akan ditunggu. Misal dalam rapat,
perjanjian pertemuan, atau pun lainnya, kehadiran kita akan tetap ditunggu
walaupun kita datang terlambat.
Saat datang tepat waktu dipaksa untuk menunggu
Mengapa
ngaret menjadi kebiasaan orang Indonesia? Karena ketika satu orang datang tepat
waktu, ia terpaksa menunggu kehadiran rekannya untuk memulai rapat, atau
pertemuan lainnya. Orang-orang yang terbiasa tepat waktu pun bisa terjangkiti
"penyakit" ngaret ini, jika terus-menerus dibuat menunggu oleh
rekannya yang terbiasa datang terlambat.
Kurang empati
Empati
berarti merasakan apa yang dirasakan orang lain. Orang yang terbiasa terlambat
dipastikan memiliki jiwa empati yang rendah. Ia tak bisa menempatkan perasaan
dirinya diposisi orang lain. Ia tak mampu merasakan bagaimana menjenuhkannya
menunggu orang yang terlambat.
Mungkin
itu beberapa hal yang menyebabkan orang Indonesia memiliki kebiasaan datang
terlambat, atau biasa disebut "jam karet". Janji pukul 10, datang
pukul 11. Maka dari itu mengapa terkadang sebagian orang mensiasati waktu
janjinya menjadi lebih awal dari waktu yang sebenarnya. Misal pertemuan
diagendakan pukul 12 siang, namun diinformakasikan pertemuan akan dimulai pukul
11, dengan asumsi bahwa setiap hadirin pertemuan pasti akan datang terlambat.
Selamat
datang di Indonesia, tempat di mana waktu rapat pun harus direncanakan lebih
cepat, padahal tidaklah demikian. Tempat di mana waktu mulai seminar pun bisa
menjadi molor karena audiencebelum hadir memenuhi
kursi yang telah disediakan. Tempat di mana para mahasiswa harus menunggu
beberapa jam sampai sang dosen hadir di kelas. Dan lain hal sebagainya.
Namun
bukan berarti seluruh orang Indonesia memiliki jiwa demikian. Saya amat yakin,
bahwa masih sangat banyak orang Indonesia yang menilai penting datang tepat
waktu.
Masih
sangat banyak orang Indonesia yang tetap setia datang tepat waktu ketika
rekannya yang lain datang terlambat. Semoga Andalah salah satunya. Orang yang
senantiasa disiplin terhadap waktu, orang yang selalu menempatkan datang
tepat waktu di prioritas utama, orang yang selalu menghargai waktu dan orang
lain.